Aquarium

Monday, 26 November 2018

DOAKU HARAPANKU



Berawan (Dok. Pribadi)

“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” – Q.S. Al Ghafir Ayat 60.


Ingatannya tertuju pada ayat tersebut dan nampak gambaran kecemasan di wajahnya. “Sampai jumpa di Surabaya ya.. Jangan lupa web check-in.” Kata seseorang yang bicara kepadanya melalui HP.


“Baiklah, oke..” Jawabnya datar. Lalu dengan cepat sambungan telepon itu terputus tapi tak mampu memutuskan ingatannya tentang tragedi jatuhnya pesawat pada bulan Oktober kemarin. Selain itu, ia teringat cerita seorang penyelam perempuan bernama Putri Dela Karneta ketika wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia  Famega Syavira Putri dan Oki Budhi tentang keikutsertaannya dalam evakuasi korban yang dimuat pada halaman berita medan.tribunnews.com. 


Putri bercerita bahwa saat berada di kedalaman dua puluh lima meter, dia melihat dasar laut yang berantakan oleh puing – puing, ada kabel, plastik, bagian pesawat yang sudah menjadi bagian – bagian kecil, dan ada juga potongan tubuh. “Yaa.. Rabb, sesungguhnya tiap – tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu). Aaamiin…” Ucapnya seraya berdoa kepada Allah.


Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 20.45 sebelum ia terlelap dan hanyut dalam mimpi. Sudah seperti biasanya, pukul 21.00 siap – siap tidur agar dapat mengerjakan Qiyamul Lail. Seperempat jam lebih dari cukup untuk online check-in di website garuda Indonesia. Setelah selesai, ia pun bersih – bersih, sikat gigi, dan berwudhu lalu tidur.


Sekitar pukul 2.30, alarm berbunyi, ia pun segera bangun, ambil air wudhu dan mendirikan shalat tahajud, taubat, hajat, dan witir. Setelah selesai, sambil menunggu azan subuh, ia membaca Al Qur’an. Azan subuh berkumandang pukul 04.05, ia terpaksa berhenti dan menutup Al Qur’annya lalu mendirikan shalat sunnah qabliyah dan subuh. Kemudian, ia lanjutkan dengan zikir pagi. Zikir pagi diselesaikannya sebelum pukul 6.00 karena ia harus packing perlengkapan yang akan dibawa ke Surabaya lalu mandi, sarapan, dan shalat dhuha.


“Halo Ra, nanti barengan aja deh ya berangkatnya dari Blok-M naik damri.” Kata Faisal yang berubah pikiran untuk berangkat ke bandara sendirian sebelumnya.


“Alright, tapi sekitar pukul 13.00 aja ya sampai di Blok-M.” Respon Ira menanggapi teman seperjuangannya yang langsung disetujui. “Jangan lupa ya shalat safar abis ngerjain shalat zuhur. Kita berdoa dan minta izin bepergian ke Allah.” Tambah Ira mengingatkan sambil memendam rasa trauma akan tragedi bulan kemarin.


“Siap, Mamah Dedeh.” Canda Faisal saat merespon saran dari Ira tadi. “Assalamualaikum.” Ucapnya mengakhiri percakapan karena azan zuhur telah berkumandang. Lalu, terputuslah sambungan telepon dan ia pergi menuju masjid sedangkan Ira, mengerjakan shalat di kosannya.


“Sal, di mana? Di luar ujan nih. Naik grab car aja ya. Kamu pesan nanti samperin aku.” Pesan Ira via whatsapp. Akhirnya, mereka berdua berangkat dengan grab car . Mereka sampai di bandara satu setengah jam sebelum boarding. “Masih banyak waktu buat santai plus jamak shalat ashar sambil menunggu ketua grup datang.” Pikir Ira tenang dan dirinya baru sadar kalau waktu boarding lima belas menit lebih cepat dari waktu ashar dan perkiraan landing di Surabaya adalah pukul 17.00. Jadi, ia berusaha menunaikan shalat ashar selama masih ada di darat. 


Ada sebuah artikel website muslimah.or.id yang ia ingat bahwa menghadap kiblat adalah syarat sah shalat, tidak sah shalatnya jika tidak dipenuhi. Berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al Baqarah ayat 144 yang artinya “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” Dengan demikian, pada asalnya, shalat wajib yang lima waktu dilakukan di darat dan tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan karena sulit menghadap kiblat dengan benar.


Pukul 14.50 mereka boarding, naik pesawat airbus GA0318 tujuan Surabaya Juanda. Tak lama kemudian, pesawat pun tinggal landas dan mereka bertiga duduk terpisah satu sama lain. Perjalanan mereka di atas sangat menegangkan bahkan pesawatnya sempat berputar – putar selama beberapa menit karena cuaca. Waktu landing juga terlambat sekitar dua puluh menit dari waktu yang telah dijadwalkan semula dan rupanya saat itu Surabaya habis diguyur hujan lebat terlihat dari kondisi bandara yang basah. Akan tetapi, Ira dengan kedua rekannya yang selama penerbangan gelisah serta penumpang yang lain, terlihat sudah kembali sumringah, ceria, tampak wajah bersyukur telah mendarat dengan selamat. Semua karena doa dan harapan yang terijabah. Berdoa, berharap untuk mendapatkan perlindungan, pertolongan dari Allah. 


Merujuk sebuah artikel rumaysho.com menjelaskan bahwa dalam hadist riwayat Bukhari nomor 1804 dan Muslim nomor 1927, dari Abu Hurairah, Nabi SAW pernah bersabda, “Safar adalah bagian dari adzab (siksaan)”. Artinya, safar itu benar-benar akan mendapati kesulitan. Apalagi keadaan di kendaraan atau pesawat yang kurang menyenangkan, seperti cuaca buruk, tidak bisa tidur sebagaimana layaknya. Sungguh amat menyulitkan. Karena kondisi sulit dalam safar, hati pun akhirnya pasrah. Itulah saat mudah diijabahinya do’a, saat kepasrahan hati pada Rabb ‘azza wa jalla. Itulah hakekat ‘ubudiyah (penghambaan), penghinaan, dan menundukkan diri pada-Nya. Akhirnya, seorang hamba pun mengikhlaskan diri beribadah pada-Nya. Jika kondisi seseorang demikian, maka doa yang ia panjatkan akan makin mudah diijabahi. Semakin lama seseorang bersafar, semakin dekat pula do’a itu dikabulkan. “Terima kasih, yaa Rabbi..” Bisik Ira pelan sambil menuruni anak tangga menuju ruang kedatangan.

Saturday, 24 November 2018

Taman Nasional Baluran dan Durian Banyuwangi


Taman Nasional Baluran - Dok. Pribadi

Durian Banyuwangi - Dok. Pribadi
“Aw chye, Ayu?” Tanya seorang teman dari Kurdistan, Irak, dengan bahasa Kurdish yang kurang lebih artinya adalah ‘apakah itu’ dalam bahasa Indonesia. Aku yang membacanya, spontan kaget, bingung menjelaskannya.

“A fruit.” Jawabku setelah membuka translator ditambah mencari referensi nama yang tepat untuknya dalam bahasa Inggris dari google. Tidak ku sangka, bahasa Inggrisnya sama saja, DURIAN. Oleh sebab takut yang bertanya tidak paham, aku memberitahunya bahwa itu adalah buah. Lalu menyarankannya untuk mengunjungi daerah itu, bersama istrinya. Aku pun ingin sekali kembali ke sana suatu saat, bukan dalam rangka bertugas tapi traveling. Seorang Ibu berkata, “Jika berkunjung ke Banyuwangi, tidak cukup hanya dua hari atau jangan sambil bertugas kalau mau sekalian menjelajahi beberapa tempat wisata.”

“Dipikir – pikir memang iya juga sih, ya..” Gumamku dalam hati. Akhirnya, saat itu, setelah menyelesaikan aktivitas, hanya sempat ke Taman Nasional Baluran atau lebih dikenal dengan julukan ‘Africa Van Java’ dan makan Durian Banyuwangi.

Berdasarkan pemaparan pada situs balurannationalpark.web.id, Taman Nasional Baluran merupakan Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan system zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, Pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman ini disebut juga sebagai ‘Little Africa in Java’ yang memiliki beberapa destinasi alam untuk dikunjungi, seperti padang Savana Bekol sampai lebatnya hutan hijau Evergreen Forest hingga keindahan bawah laut di Bama. Di sana terdapat juga Gua Jepang, Curah Tangis, Sumur Tua, Manting, Dermaga, Kramat, Kajang, Balanan, Lempuyang, Talpat, Kacip, Bilik, Sejileh, Teluk Air Tawar, Batu Numpuk, Pandean atau Candi Bang yang dapat dikunjungi. Beberapa hewan liar pun ada di Taman ini dan dapat dijadikan sebuah pengalaman tersendiri untuk mengamatinya. Namun sayang, tiba di sana sudah terlalu siang dan beberapa lokasi sedang diadakan perbaikan sehingga tidak banyak tempat yang dapat dinikmati.

Ketika di Banyuwangi, makan durian di malam hari, di pelataran hotel, menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan. Ada sekitar sepuluh buah durian dipesan dari pedagang durian yang terkenal di sana. Pedagang tersebut, rupanya juga sudah sering menjamu tamunya di tempat itu dan kabarnya, pada acara peresmian bandara dan tempat pariwisata minggu depan, Dia diminta menjamu Pak Jokowi.

Membahas tentang Durian Banyuwangi, ternyata, ada sebuah tempat bernama Kampung Durian. Ia terletak di Dusun Sembawur, Desa Songgon, Kecamatan Songgon. Tempat itu, telah diresmikan sebagai salah satu destinasi wisata yang sedang dikembangkan di Banyuwangi. Dalam media sosial kompas.com disebutkan bahwa peresmian tersebut dilakukan oleh Bapak Bupati, Abdullah Azwar Anas pada tanggal 17 Maret 2018 dimana wisatawan dapat menikmati berbagai varian durian, mulai dari durian berwarna merah, oranye, kuning hingga pelangi yang merupakan endemik Banyuwangi dan tumbuh alami selama berpuluh tahun lamanya, membuat cita rasa berbeda dengan lainnya sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Dinas Kabupaten Banyuwangi. “Ooohhh… Jadi, itu sebabnya, pantas waktu makan durian itu memang rasanya sangat berbeda dengan durian lain.” Kataku lirih.

Di Kampung Durian, ada beberapa pilihan bagi wisatawan untuk menikmati durian, seperti di sepanjang jalan di mana terbentang luas kebun durian dengan gubuk kayu di sampingnya yang menyajikan durian langsung dari pohonnya. Selain itu, ada tempat khusus dengan nuansa lebih alami, yaitu Durian Garden Likin, terletak di ujung selatan jalan setapak. Tempat itu dilengkapi gemericik air kali yang segar dan kolam – kolam, membuat suasana makan durian semakin asik. Namun, di Kampung itu, hanya khusus untuk durian banyuwangi tanpa kekhawatiran kehabisan stok sebab ada terus sepanjang musim.

Friday, 23 November 2018

MURAKAMI


Foto Dok. Pribadi



MURAKAMI…. Delapan susunan huruf yang tertera pada cover sebuah buku itu menarik perhatian saya. Saat itu, saya sedang melihat – lihat beberapa rak buku di sebuah toko buku. Periplus namanya, terletak di depan gate lima belas, terminal tiga, Bandara Internasional Soekarno – Hatta.

“Mbak, mau beli buku ya?” Tanya Nato yang tiba – tiba sudah berdiri di samping saya. Rupanya, saat melihat saya di sana, dia langsung beranjak dari tempat duduknya di ruang tunggu dan ikut melihat – lihat beberapa buku.

“Mmm… mau sih, tapi liat – liat dulu aja deh.” Jawab saya ragu sambil pikiran saya mengingat uang cash yang ada di dompet dan menghitung – hitung apakah cukup buat bekal selama di Surabaya dan Banyuwangi jika sebagian dibelikan buku.

“Bahasa Inggris semua mbak, mahal – mahal pula.” Katanya berkomentar. Memang sih, di sana, sebagian besar buku yang dijual berbahasa Inggris dan mahal karena impor. Itu juga yang membuat saya ragu ingin membeli waktu ditanya. Namun, saya masih tetap melanjutkan apa yang dari tadi saya lakukan karena paling tidak harus ada satu buku yang saya beli sekedar belajar gaya penulisan dan mereview kembali kosakata bahasa Inggris saya. Nato sendiri, dia menyerah dan kembali lagi ke tempat duduk semula, memainkan HP Selulernya, menunggu saat boarding.

“Mbak, saya beli ini.” Kata saya kepada kasirnya setelah lama berkeliling, bolak - balik dari satu rak ke rak yang lain.

MURAKAMI - The Strange Library – dua ratus empat puluh tujuh ribu rupiah. Begitulah yang saya baca dari layar kecil mesin cash register. “Wah, tak pikir ga sampe dua ratusan ribu.” Kata saya dalam hati tapi akhirnya tetap saja saya beli. Sebenarnya, saat itu, saya ingin membeli sebuah buku tentang psikologi tapi harganya lebih mahal dan saya teringat punya impian menjadi penulis. Jadi, menurut saya, mengenal gaya penulis internasional seperti Murakami adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Namun, bukan hanya Murakami sebetulnya tapi penulis lain pun juga.

Ngomong – ngomong tentang Murakami, berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari Wikipedia, Murakami adalah seorang berkebangsaan Jepang. Nama lengkapnya adalah Haruki Murakami. Lahir pada tanggal 12 Januari 1949 di sebuah kota yang terletak di Pulau Honshu. Kota tersebut adalah Kyoto, kota yang merupakan bagian dari daerah Metropolitan Osaka – Kobe – Kyoto. Kyoto memiliki banyak situs bersejarah dan merupakan ibu kota Prefektur Kyoto.

Murakami merupakan penulis best seller Jepang baik tulisan fiksi maupun non-fiksi. Namun, sejak kecil dirinya telah sangat terpengaruh dengan budaya Barat, khususnya literatur dan musik Barat. Beliau tumbuh dengan membaca berbagai karya penulis Amerika, seperti Kurt Vonnegut, Richard Brautigan dan Jack Kerouac. Pengaruh budaya Barat ini yang membedakannya dengan penulis-penulis Jepang lainnya. Sebagai seorang penulis, beliau pun telah menerima berbagai penghargaan baik dari negaranya sendiri, Jepang dan luar negeri. Penghargaan tersebut, antara lain World Fantasy Award (2006), Frank O'Connor International Short Story Award (2006), pernghargaan pada Franz Kafka Prize (2006) dan Jerusalem Prize (2009). Selain itu, Dia pun telah menerjemahkan sejumlah karyanya dalam bahasa Inggris. Karya-karya pentingnya seperti A Wild Sheep Chase (1982), Norwegian Wood (1987), The Wind-Up Bird Chronicle (1994-1995), Kafka on the Shore (2002), dan 1Q84 (2009–2010).

Pada Wikipedia dijelaskan juga bahwa sebelum menjadi seorang penulis, awalnya, Murakami adalah seorang pebisnis club jazz. Dia sama sekali belum pernah menulis dan belum pernah membuat apa pun. Pertama kali terinspirasi menulis adalah saat menonton permainan baseball di Stadium Jingu, tahun 1978, ketika Dave Hilton, pemain baseball asal Amerika memukul bola. Permainan tersebut merupakan pertandingan antara Yakult Swallows dan Hiroshima Carp. Saat itu, Hilton memukul double secara cepat dan Murakami langsung menyadari bahwa dirinya dapat menulis novel. Kemudian, Dia pulang kerumah dan mulai menulis pada malam harinya. Dia menulis Hear the Wind Sing selama beberapa bulan dan menyelesaikan novel pertamanya. Kemudian, Dia mengirim novel tersebut hanya pada kontes literatur, lalu menang dengan juara pertama.