Berawan (Dok. Pribadi) |
“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya
akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri
dari beribadah kepada-Ku (berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam
keadaan hina dina.” – Q.S. Al Ghafir Ayat 60.
Ingatannya tertuju pada ayat
tersebut dan nampak gambaran kecemasan di wajahnya. “Sampai jumpa di Surabaya
ya.. Jangan lupa web check-in.” Kata seseorang yang bicara kepadanya melalui
HP.
“Baiklah, oke..” Jawabnya datar.
Lalu dengan cepat sambungan telepon itu terputus tapi tak mampu memutuskan
ingatannya tentang tragedi jatuhnya pesawat pada bulan Oktober kemarin. Selain
itu, ia teringat cerita seorang penyelam perempuan bernama Putri Dela Karneta ketika
wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia Famega Syavira Putri dan Oki Budhi tentang keikutsertaannya
dalam evakuasi korban yang dimuat pada halaman berita medan.tribunnews.com.
Putri bercerita bahwa saat berada
di kedalaman dua puluh lima meter, dia melihat dasar laut yang berantakan oleh
puing – puing, ada kabel, plastik, bagian pesawat yang sudah menjadi bagian –
bagian kecil, dan ada juga potongan tubuh. “Yaa.. Rabb, sesungguhnya tiap –
tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Limpahkanlah kesabaran kepada kami dan
wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu). Aaamiin…” Ucapnya
seraya berdoa kepada Allah.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul
20.45 sebelum ia terlelap dan hanyut dalam mimpi. Sudah seperti biasanya, pukul
21.00 siap – siap tidur agar dapat mengerjakan Qiyamul Lail. Seperempat jam
lebih dari cukup untuk online check-in di website garuda Indonesia. Setelah
selesai, ia pun bersih – bersih, sikat gigi, dan berwudhu lalu tidur.
Sekitar pukul 2.30, alarm
berbunyi, ia pun segera bangun, ambil air wudhu dan mendirikan shalat tahajud,
taubat, hajat, dan witir. Setelah selesai, sambil menunggu azan subuh, ia
membaca Al Qur’an. Azan subuh berkumandang pukul 04.05, ia terpaksa berhenti
dan menutup Al Qur’annya lalu mendirikan shalat sunnah qabliyah dan subuh.
Kemudian, ia lanjutkan dengan zikir pagi. Zikir pagi diselesaikannya sebelum
pukul 6.00 karena ia harus packing perlengkapan yang akan dibawa ke Surabaya
lalu mandi, sarapan, dan shalat dhuha.
“Halo Ra, nanti barengan aja deh
ya berangkatnya dari Blok-M naik damri.” Kata Faisal yang berubah pikiran untuk
berangkat ke bandara sendirian sebelumnya.
“Alright, tapi sekitar pukul
13.00 aja ya sampai di Blok-M.” Respon Ira menanggapi teman seperjuangannya
yang langsung disetujui. “Jangan lupa ya shalat safar abis ngerjain shalat zuhur.
Kita berdoa dan minta izin bepergian ke Allah.” Tambah Ira mengingatkan sambil
memendam rasa trauma akan tragedi bulan kemarin.
“Siap, Mamah Dedeh.” Canda Faisal
saat merespon saran dari Ira tadi. “Assalamualaikum.” Ucapnya mengakhiri
percakapan karena azan zuhur telah berkumandang. Lalu, terputuslah sambungan telepon
dan ia pergi menuju masjid sedangkan Ira, mengerjakan shalat di kosannya.
“Sal, di mana? Di luar ujan nih.
Naik grab car aja ya. Kamu pesan nanti samperin aku.” Pesan Ira via whatsapp.
Akhirnya, mereka berdua berangkat dengan grab car . Mereka sampai di bandara satu
setengah jam sebelum boarding. “Masih banyak waktu buat santai plus jamak
shalat ashar sambil menunggu ketua grup datang.” Pikir Ira tenang dan dirinya
baru sadar kalau waktu boarding lima belas menit lebih cepat dari waktu ashar
dan perkiraan landing di Surabaya adalah pukul 17.00. Jadi, ia berusaha
menunaikan shalat ashar selama masih ada di darat.
Ada sebuah artikel website muslimah.or.id
yang ia ingat bahwa menghadap kiblat adalah syarat sah shalat, tidak sah
shalatnya jika tidak dipenuhi. Berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al
Baqarah ayat 144 yang artinya “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah
ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya.” Dengan demikian, pada asalnya, shalat wajib
yang lima waktu dilakukan di darat dan tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan
karena sulit menghadap kiblat dengan benar.
Pukul 14.50 mereka boarding, naik
pesawat airbus GA0318 tujuan Surabaya Juanda. Tak lama kemudian, pesawat pun
tinggal landas dan mereka bertiga duduk terpisah satu sama lain. Perjalanan
mereka di atas sangat menegangkan bahkan pesawatnya sempat berputar – putar selama
beberapa menit karena cuaca. Waktu landing juga terlambat sekitar dua puluh
menit dari waktu yang telah dijadwalkan semula dan rupanya saat itu Surabaya habis
diguyur hujan lebat terlihat dari kondisi bandara yang basah. Akan tetapi, Ira
dengan kedua rekannya yang selama penerbangan gelisah serta penumpang yang lain,
terlihat sudah kembali sumringah, ceria, tampak wajah bersyukur telah mendarat
dengan selamat. Semua karena doa dan harapan yang terijabah. Berdoa, berharap untuk
mendapatkan perlindungan, pertolongan dari Allah.
Merujuk sebuah artikel rumaysho.com
menjelaskan bahwa dalam hadist riwayat Bukhari nomor 1804 dan Muslim nomor
1927, dari Abu Hurairah, Nabi SAW pernah bersabda, “Safar adalah bagian dari adzab
(siksaan)”. Artinya, safar itu benar-benar akan mendapati kesulitan. Apalagi
keadaan di kendaraan atau pesawat yang kurang menyenangkan, seperti cuaca buruk,
tidak bisa tidur sebagaimana layaknya. Sungguh amat menyulitkan. Karena kondisi
sulit dalam safar, hati pun akhirnya pasrah. Itulah saat mudah diijabahinya
do’a, saat kepasrahan hati pada Rabb ‘azza wa jalla. Itulah hakekat ‘ubudiyah
(penghambaan), penghinaan, dan menundukkan diri pada-Nya. Akhirnya, seorang
hamba pun mengikhlaskan diri beribadah pada-Nya. Jika kondisi seseorang
demikian, maka doa yang ia panjatkan akan makin mudah diijabahi. Semakin lama
seseorang bersafar, semakin dekat pula do’a itu dikabulkan. “Terima kasih, yaa
Rabbi..” Bisik Ira pelan sambil menuruni anak tangga menuju ruang kedatangan.